loading...
BIOREMEDIASI
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme
untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim
yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan
mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi.
Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana
polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya
menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Sejak
tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air
pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah
buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi),
yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan
ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa
organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak
aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang
sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh
pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh
mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan
kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi
genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode
enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang
bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba
memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain
atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih
efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan
pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini
dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi.
Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis
lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah
diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan
karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan
jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi
komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di
lingkungan.
Jenis-jenis
bioremediasi adalah sebagai berikut:
Biostimulasi
Nutrien dan
oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang
tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang
telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang
dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau
tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan
kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika
cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar
agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum
sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan
mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk
beradaptasi.
Bioremediasi
Intrinsik
Bioremediasi jenis
ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
BIOTEKNOLOGI
KONVENSIONAL
KEJU
Keju
(dari bahasa Portugis, queijo) adalah sebuah makanan yang dihasilkan
dengan memisahkan zat-zat padat dalam susu melalui proses pengentalan atau koagulasi.
Proses pengentalan ini dilakukan dengan bantuan bakteri atau enzim tertentu
yang disebut rennet. Hasil dari proses tersebut nantinya akan
dikeringkan, diproses, dan diawetkan dengan berbagai macam cara. Dari sebuah
susu dapat diproduksi berbagai variasi produk keju. Produk-produk keju
bervariasi ditentukan dari tipe susu, metode pengentalan, temperatur, metode
pemotongan, pengeringan, pemanasan, juga proses pematangan keju dan pengawetan.
Umumnya, hewan yang dijadikan sumber air susu adalah sapi. Air susu unta,
kambing, domba, kuda, atau kerbau digunakan pada beberapa tipe keju lokal.
Asal usul
Keju
sudah diproduksi sejak zaman prasejarah walaupun tidak ada bukti pasti kapan
pembuatan keju pertama kali dilakukan. Masyarakat prasejarah mulai meninggalkan
gaya hidup nomaden dan beralih menjadi beternak kambing, domba maupun
sapi. Karena kebersihan yang kurang, terkena sinar matahari secara langsung
atau terkena panas dari api maka susu dalam bejana tersebut menjadi asam dan
kental. Setelah dicoba ternyata susu tersebut masih dapat dimakan, dan itulah
pertama kalinya manusia menemukan keju krim asam (sour cream cheese).
Keju
krim manis (sweet cream cheese) juga ditemukan secara kebetulan. Sebuah
legenda yang menceritakan bahwa beberapa pemburu yang membunuh seekor anak
sapi, kemudian membuka perutnya dan menemukan sesuatu berwarna putih yang
memiliki rasa yang enak. Adanya enzim rennet di dalam perut sapi
menyebabkan susunya menjadi kental, sehingga menjadi apa yang kita sebut keju
saat ini. Cerita lainnya mengatakan bahwa keju ditemukan pertama kali di Timur
Tengah oleh seorang pengembara dari Arab. Pengembara tersebut melakukan
perjalanan di padang gurun mengendarai kuda dengan membawa susu di pelananya.
Setelah beberapa lama, susu tersebut telah berubah menjadi air yang pucat dan
gumpalan-gumpalan putih. Karena pelana penyimpan susu terbuat dari perut
binatang (sapi, kambing ataupun domba) yang mengandung rennet, maka kombinasi
dari rennet, cuaca yang panas dan guncangan-guncangan ketika mengendarai kuda
telah mengubah susu menjadi keju, dan setelah itu orang-orang mulai menggunakan
enzim dari perut binatang untuk membuat keju.
Keju di zaman
modern
Di
abad ke 19, Ferdinand Cohn menjadi orang pertama yang menemukan bahwa proses
pematangan keju diarahkan oleh mikroorganisme. Setelah itu, semakin banyak pula
riset yang dilakukan berhubungan dengan keju dan proses pembuatannya. Dengan
berkembangnya pengetahuan tentang keju baik dari segi biologis maupun kimiawi,
proses pembuatan keju pun menjadi umum di masyarakat. Hasilnya,
perusahaan-perusahaan kecil maupun peternakan-peternakan berlomba-lomba memproduksi
keju mereka sendiri.
Pembuatan keju
Ada lima tahapan
utama dalam pembuatan keju. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Pengasaman
Susu dipanaskan
agar bakteri asam laktat, yaitu Streptococcus and Lactobacillus
dapat tumbuh. Bakteri-bakteri ini memakan laktosa pada susu dan merubahnya
menjadi asam laktat. Saat tingkat keasaman meningkat, zat-zat padat dalam susu
(protein kasein, lemak, beberapa vitamin dan mineral) menggumpal dan membentuk
dadih.
Pengentalan
Bakteri
rennet ditambahkan ke dalam susu yang dipanaskan yang kemudian membuat protein
menggumpal dan membagi susu menjadi bagian cair (air dadih) dan padat (dadih).
Setelah dipisahkan, air dadih terkadang dipakai untuk membuat keju seperti Ricotta
dan Cypriot hallumi namun biasanya air dadih tersebut dibuang. Dadih
keju dihancurkan menjadi butiran-butiran dengan bantuan sebuah alat yang
berbentuk seperti kecapi, dan semakin halus dadih tersebut maka semakin banyak
air dadih yang dikeringkan dan nantinya akan menghasilkan keju yang lebih
keras.
Rennet
mengubah gula dalam susu menjadi asam dan protein yang ada menjadi dadih.
Jumlah bakteri yang dimasukkan dan suhunya sangatlah penting bagi tingkat
kepadatan keju. Proses ini memakan waktu antara 10 menit hingga 2 jam, tergantung
kepada banyaknya susu dan juga suhu dari susu tersebut. Sebagian besar keju
menggunakan rennet dalam proses pembuatannya, namun zaman dahulu ketika keju
masih dibuat secara tradisional, getah daun dan ranting pohon ara digunakan
sebagai pengganti rennet.
Pengolahan
dadih
Setelah
pemberian rennet, proses selanjutnya berbeda-beda. Beberapa keju lunak
dipindahkan dengan hati-hati ke dalam cetakan. Sebaliknya pada keju-keju
lainnya, dadih diiris dan dicincang menggunakan tangan atau dengan bantuan
mesin supaya mengeluarkan lebih banyak air dadih. Semakin kecil potongan dadih
maka keju yang dihasilkan semakin padat.
Persiapan
sebelum pematangan
Sebelum
pematangan, dadih akan melalui proses pencetakan, penekanan, dan pengasinan.
Saat dadih mencapai ukuran optimal maka ia harus dipisahkan dan dicetak. Untuk
keju-keju kecil, dadihnya dipisahkan dengan sendok dan dituang ke dalam
cetakan, sedangkan untuk keju yang lebih besar, pengangkatan dari tangki
menggunakan bantuan sehelai kain. Sebelum dituang ke dalam cetakan, dadih
tersebut dikeringkan terlebih dahulu kemudian dapat ditekan lalu dibentuk atau
diiris.
Selanjutnya,
keju haruslah ditekan sesuai dengan tingkat kekerasan yang diinginkan.
Penekanan biasanya tidak dilakukan untuk keju lunak karena berat dari keju
tersebut sudah cukup berat untuk melepaskan air dadih, demikian pula halnya
dengan keju iris karena berat dari keju tersebut juga menentukan tingkat
kepadatan yang diinginkan. Meskipun demikian, sebagian besar keju melewati
proses penekanan. Waktu dan intensitas penekanan berbeda-beda bagi setiap keju.
Penambahan
garam dilakukan setelah keju dibentuk agar keju tidak terasa tawar, dan terdapat
empat cara yang berbeda untuk mengasinkan keju. Bagi beberapa keju, garam
ditambahkan langsung ke dalam dadih. Cara yang kedua adalah dengan menggosokkan
atau menaburkan garam pada bagian kulit keju, yang akan menyebabkan kulit keju
terbentuk dan melindungi bagian dalam keju agar tidak matang terlalu cepat.
Beberapa keju-keju yang berukuran besar diasinkan dengan cara direndam dalam
air garam, yang menghabiskan waktu berjam-jam sehingga berhari-hari. Cara yang
terakhir adalah dengan mencuci bagian permukaan keju dengan larutan garam;
selain memberikan rasa, garam juga membantu menghilangkan air berlebih,
mengeraskan permukaan, melindungi keju agar tidak mengering serta mengawetkan
dan memurnikan keju ketika memasuki proses maturasi.
Pematangan
Pematangan
(ripening) adalah proses yang mengubah dadih-dadih segar menjadi keju
yang penuh dengan rasa. Pematangan disebabkan oleh bakteri atau jamur tertentu
yang digunakan pada proses produksi, dan karakter akhir dari suatu keju banyak
ditentukan dari jenis pematangannya. Selama proses pematangan, keju dijaga agar
berada pada temperatur dan tingkat kelembaban tertentu hingga keju siap
dimakan. Waktu pematangan ini bervariasi mulai dari beberapa minggu untuk keju
lunak hingga beberapa hari untuk keju keras seperti Parmigiano-Reggiano.
Beberapa teknik sebelum proses pematangan yang dapat dilakukan untuk
mempengaruhi tekstur dan rasa akhir keju:
Stretching: Dadih diusung dan lalu diadoni dalam air panas untuk menghasilkan
tekstur yang berserabut. Contoh keju yang melewati proses ini adalah keju
Mozzarella dan Provolone.
Cheddaring: Dadih yang sudah dipotong kemudian ditumpuk untuk menghilangkan
kelembaban. Dadih tersebut lalu digiling untuk waktu yang cukup lama. Contoh
keju yang mengalami proses ini adalah keju Cheddar dan Keju Inggris lainnya.
Pencucian: Dadih
dicuci dalam air hangat untuk menurunkan tingkat keasamannya dan menjadikannya
keju yang rasanya lembut. Contoh keju melewati proses pencucian adalah keju
Edam, Gouda, dan Colby.
Pembakaran: Bagi beberapa keju keras, dadih dipanaskan hingga suhu 35 °C (95
°F)-56 °C (133 °F) yang kemudian mengakibatkan butiran dadih kehilangan air dan
membuat keju menjadi lebih keras teksturnya. Proses ini sering disebut dengan istilah
pembakaran (burning). Contoh keju yang dipanaskan ulang adalah keju
Emmental, keju Appenzeller dan Gruyère.
Kandungan gizi
Keju
merupakan makanan yang penuh dengan nutrisi. Keju memiliki banyak elemen yang
sama dengan susu, yaitu protein, lemak, kalsium dan vitamin. Satu pon keju
memiliki protein dan lemak yang sama jumlahnya dengan satu galon susu. Keju
dengan tingkat kelembaban yang tinggi memiliki konsentrasi nutrisi yang lebih
rendah dibandingkan dengan keju yang tingkat kelembabannya rendah.
loading...
Berikan komentar Anda untuk kebaikan Kita bersama
EmoticonEmoticon